Oleh: Hasanul Rizqa
Tepat pada hari ini, dunia memperingati haul 750 tahun Jalaluddin Rumi. Sang sufi agung dari Konya, Turki, wafat pada 17 Desember 1273 dalam usia 66 tahun. Ia meninggalkan banyak legasi, terutama di ranah tasawuf dan kesusastraan.
Tokoh ini lahir dengan nama Jalaluddin Muhammad. Orang-orang Iran dan Afghanistan lebih sering menyebutnya Jelaluddin Balkhi. Sebab, orang tuanya berasal dari Balkhi, suatu pusat kebudayaan Persia-Islam—kini termasuk wilayah Afghanistan.
Di sana pula, Jalaluddin lahir pada 30 September 1207 atau 6 Rabiul Awwal 604 Hijriyah. Bagaimanapun, figur dari abad ke-13 itu akhirnya masyhur dengan nama Jalaluddin Rumi.
Pada zaman itu, sebutan Rum bermakna ‘Roma’ atau ‘Anatolia’. Sebagian besar hidup sang penyair-sufi memang dihabiskan di Konya, Anatolia (Turki). Selain itu, dia sendiri memakai nama daerah tersebut, Rum, sebagai nama samaran (nom de plume) dalam setiap karyanya.
Garis nasabnya dapat ditelusuri hingga sang khalifah pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq. Kira-kira lima tahun sejak kelahirannya, keluarganya hijrah meninggalkan Balkhi. Para peneliti belum dapat memastikan, apa yang mendorong Muhammad bin Husain al-Khatibi alias Bahauddin Walad—ayah Jalaluddin—sehingga mengambil keputusan itu. Sebagai informasi, pada permulaan abad ke-13 Balkhi termasuk wilayah Kerajaan Khwarizmi. Sebagian sejarawan menduga, penguasa negeri itu, Raja Muhammad, ingin membendung pengaruh tarekat yang antara lain didukung Bahauddin.
Afzal Iqbal dalam The Life and Work of Jalal-ud-din Rumi menengarai, Bahauddin hijrah seperti beberapa warga lainnya yang ingin menghindari ancaman militer Mongol. Pada 1213, pengarang Kitab al-Ma’arif itu bertolak dari Balkhi. Pria 65 tahun itu kemudian singgah dari kota ke kota: Nishapur (Iran), Baghdad, Makkah, Malatya (Turki), Laranda (Turki), dan akhirnya Konya sekitar tahun 1229. Kota yang terakhir itu merupakan sentra pemerintahan Kesultanan Rum, yang masih dalam trah Dinasti Seljuk.
Sewaktu berada di Nishapur, Bahauddin diterima dengan baik oleh Abu Hamid bin Abu Bakar Ibrahim alias Fariduddin Attar. Dialah salik yang mengarang Mantiq at-Tayr (‘Pertemuan Para Burung). Kepada Bahauddin, Attar menghadiahkan salinan karangannya, Asrar Namah (‘Kitab tentang Misteri-misteri’). Tokoh berjuluk “pewangi para penyair” itu juga berpesan, “Putramu (Jalaluddin) tak lama lagi akan mengobarkan bara api para pencinta Tuhan dari seluruh dunia.” Demikian kutip William C Chittick dalam The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi.
Usai melaksanakan ibadah haji, Bahauddin melangkahkan kaki ke wilayah kekuasaan Dinasti Seljuk. Di Konya, ulama bermazhab Hanafi itu diterima dengan hangat oleh penguasa setempat. Negeri itu sedang dipimpin Alauddin Kayqubad yang terkenal mencintai ilmu dan seni. Bahauddin pun diberikan jabatan sebagai qadi istana. Lambat laun, masyarakat di sana menjulukinya Sultan al-‘Ulama, ‘Pemimpinnya para cerdik pandai.’
Bahauddin memiliki beberapa orang anak. Jalaluddin tergolong yang paling menonjol di antara mereka. Masa mudanya dihabiskan dengan tekun menuntut ilmu. Saat Jalaluddin berumur 24 tahun, ayahnya meninggal dunia. Dalam usia semuda itu, dia sudah menguasai berbagai cabang pengetahuan agama, seperti tafsir Alquran, ushul fikih, fikih, tata bahasa Arab, dan sastra. Sama seperti sang ayah, dia juga ahli dalam mazhab Hanafi. Raja Kayqubad sempat memintanya duduk sebagai hakim, jabatan yang sebelumnya diemban almarhum Bahauddin. Namun, pemuda itu menolak halus tawaran tersebut karena lebih tertarik melanjutkan studinya.
Menurut Chittick, Jalaluddin meneladani sikap zuhud dan wara’ (rendah hati) dari sang bapak. Dua kualitas itu biasa dijumpai pada diri seorang sufi. Memang, Jalaluddin hingga saat itu belum menekuni tarekat tertentu. Kecenderungan ini berubah sejak kedatangan Burhanuddin Muhaqqiq Tirmidzi di Konya pada 1232. Dia pun mulai menjalani berbagai disiplin rohani dengan berguru pada sahabat bapaknya itu. Atas dasar ini, Seyyed Hossein Nasr dalam suatu uraian menegaskan, Jalaluddin Rumi sudah menjadi sufi bahkan sebelum berjumpa dengan sang salik misterius, Syamsi Tabrizi, pada 1244.
Kurang lebih sembilan tahun lamanya dia menuntut ilmu dari Burhanuddin Tirmidzi hingga sosok yang dihormatinya itu wafat pada 1241. Atas dorongan sang guru, Rumi kemudian menempuh studi di Madrasah Halivia, salah satu pusat pengajaran Mazhab Hanafi di Halab (Suriah). Setelah itu, dia pindah ke Damaskus dan tinggal di sana empat tahun lamanya. Pada 1236, Rumi kembali ke Konya untuk mengajar di Madrasah Khudavandgar.
Perjumpaan
Rumi kini menginjak usia 37 tahun. Menggantikan peran almarhum Burhanuddin Tirmidzi, dia sekarang menjadi ulama panutan seluruh Konya. Orang-orang memanggilnya “Maulana”, yang berarti ‘tuan guru.’ Kalangan istana, sesama fuqaha, dan rakyat biasa pun memuliakan dirinya. Majelis ilmu tempatnya mengajar selalu penuh. Dia juga rutin mengimami jamaah di masjid resmi negara. Bisa dikatakan, inilah momentum puncak kesuksesannya sebagai seorang pemuka agama.
Tentu saja, Rumi tak tahu-menahu ketika Syamsuddin alias Syamsi Tabrizi tiba di Konya pada 11 Oktober 1244. Seperti tampak dari namanya, pria 60 tahun itu berasal dari Tabriz, Persia. Sebelum singgah di kota tempat Rumi berada, Syamsi telah mengembara dari negeri ke negeri. Penampilannya cenderung urakan. Tak ubahnya pengelana fakir. Namun, raut wajah Syamsi teduh. Sorot matanya juga tajam. Hal itu menandakan kedalaman berpikir dan kejernihan nurani.
Perjumpaan Rumi untuk pertama kalinya dengan Syamsi Tabrizi diceritakan dengan berbagai versi. Reynold Alleyne Nicholson dalam Rumi: Divani Shamsi Tabriz mengutip salah satu di antaranya. Saat mendatangi Rumi, Syamsi diceritakan hanya mengenakan jubah wol hitam kusam yang menutupi kepala hingga kakinya. Waktu itu, Rumi sedang asyik membaca buku. Tiba-tiba, sang sufi pengelana itu merebut kitab yang sedang dibaca ulama tersebut dan melemparnya ke kolam air.
“Sekarang, engkau harus hidup dari apa yang engkau ketahui,” katanya.
Rumi terperanjat dan langsung berlari untuk menyelamatkan bacaannya. Belum hilang rasa kagetnya, ulama itu kembali diperingatkan. Syamsi menyerukan, ilmu-ilmu teoretis dari semua buku yang dibaca Rumi tak berarti apa-apa. Namun, bila memang Rumi menginginkannya, dia dapat mengeluarkan kitab yang tercebur itu dari kolam dalam keadaan kering.
Rumi menyadari, pria yang dihadapannya bukanlah orang biasa. Ada kharisma dan kebijaksanaan yang mempesona dari sosok berpakaian lusuh itu. Sejak saat itu, keduanya bersahabat erat. Ulama Konya itu memandang sang darwis bak matahari yang menyinari hidupnya dalam Jalan Cinta menuju Sang Maha Cinta.
Versi lain menyebutkan, Rumi pertama kali berjumpa dengan Syamsi saat dalam perjalanan pulang dari Madrasah Khudavandgar. Waktu itu, sufi asal Tabriz itu bertanya, siapakah yang lebih agung, Rasulullah Muhammad SAW atau Bayazid Bistami? Bayazid merupakan seorang salik asal Persia pada era Dinasti Abbasiyah yang dipercaya telah mencapai level makrifat.
Rumi menjawab dengan pasti, “Tentu saja Rasulullah lebih mulia.”
“Lantas, mengapa Nabi Muhammad pernah mengatakan, ‘Kami belum mengetahui Engkau (Allah) dengan cara yang seharusnya Engkau diketahui’ (maa arafnaaka haqqa ma'rifatika), sedangkan Bayazid mengatakan, ‘Mulialah diriku, betapa agungnya diriku’?” tanya Syamsi lagi.
Kata-kata itu lantas membuat Rumi jatuh pingsan. Kisah ini disebut dalam sumber yang dikutip Afzal Iqbal.
Versi berikutnya juga dituturkan Iqbal berdasarkan riwayat dari Daulat Shah. Suatu hari, Rumi sedang bersama dengan sejumlah muridnya. Tak disangka, Syamsi lewat dan menyerbunya dengan pertanyaan, “Apa tujuan hikmah dan ilmu pengetahuan?”
“Tujuannya untuk mengikuti Nabi SAW,” jawab Rumi penuh keyakinan.
“Jawabanmu sangat biasa,” kata Syamsi lagi.
“Menurutmu, apa tujuan ilmu?” kali ini Rumi balik bertanya.
“Ilmu adalah apa yang membuatmu sampai ke sumber segala ilmu,” ujar darwis itu. Syamsi kemudian menggumamkan syair gubahan Sanai, penyair-sufi Persia yang hidup pada abad ke-12: “Bodoh jauh lebih baik daripada berilmu yang tak menjauhkanmu dari dirimu sendiri.”
Rumi amat terkesan. Sejak saat itu, ulama tersebut berguru kepadanya.
Ya, berkat mengenal Syamsi Tabrizi, kehidupan Rumi berubah total. Dari semula sosok ahli agama dan akademisi menjadi seorang sufi yang hatinya mudah tersentuh keindahan. Bahkan, dia memilih untuk meninggalkan seluruh aktivitasnya sebagai pengajar dan pendakwah, padahal dirinya memiliki banyak murid dan jamaah. Hari-hari dilewatinya dengan sang darwis.
Menurut sebuah riwayat, keduanya sempat menjalani rihlah 100 hari lamanya. Syamsi mengajarkan berbagai petuah bijaksana. Pribadi Rumi bertransformasi dari seorang ahli hukum yang tenang menjadi seorang penggubah sajak-sajak cinta ilahiah, “pemabuk” katarsis. Interaksinya dengan sang darwis yang faqir itu telah membangkitkan bakat terpendamnya sebagai seorang penyair terkemuka.
Menemukan cinta sejati
Dengan kehadiran Syamsi Tabrizi, Jalaluddin Rumi menjadi seorang sufi dalam arti sepenuhnya. Dia selalu mendampingi di mana pun Syamsi berada. Keadaan itu berlangsung kira-kira 16 bulan lamanya. Seperti diceritakan William C Chittick, suatu ketika darwis itu tiba-tiba meninggalkan Konya. Rumi pun dilanda kegundahan hati. Kepergian Syamsi dari kota itu didahului kecemburuan para murid Rumi yang tidak menyukai kehadirannya. Mereka merasa, sejak adanya Syamsi perhatian guru mereka menjadi kurang. Salik pengelana itu kini menuju Damaskus.
Awalnya, Rumi tak mengetahui ke mana sang guru sekaligus sahabatnya itu pergi. Begitu mendengar kabar keberadaannya di Damaskus, dia pun mengutus anaknya, Sultan Walad, untuk memintanya agar bersedia kembali ke Konya. Padahal, putranya itu juga menyimpan kedengkian yang sama. Bagaimanapun, Walad melaksanakan amanah dari ayahnya itu dengan baik. Syamsi datang lagi ke Konya. Annemarie Schimmel dalam Mystical Dimensions of Islam mendeskripsikan pertemuan ini: “Mereka (Rumi dan Syamsi) saling berpelukan dan bersimpuh pada kaki satu sama lain, sampai-sampai orang tidak mengetahui, siapa kekasih dan siapa yang terkasih.”
Kebahagiaan ini tak bertahan lama. Sebab, lagi-lagi para murid Rumi tak dapat membendung rasa dengki. Kali ini, mereka berkomplot dengan seorang anak Rumi, Alauddin, untuk menjerumuskan Syamsi dalam marabahaya sehingga tak ada alasan untuk kembali ke Konya. Suatu malam, mereka menyuruh darwis gaek itu keluar dari kediaman Rumi. Setelah itu, Syamsi ditusuk sampai meninggal dunia. Jasadnya dibuang ke dalam sumur terdekat.
Keesokan harinya, Rumi mencari-cari ke mana sahabatnya itu pergi. Walad mencoba untuk menenangkan ayahnya. Tanpa sepengetahuan bapaknya, pada hari berikutnya dia mengangkat jenazah Syamsi dari dalam sumur, lalu dikuburkan secara terburu-buru demi menghilangkan jejak pembunuhan. Sementara itu, Rumi dari waktu ke waktu terus merindukan kepulangan sang darwis. Tentunya, penantian yang sia-sia.
Siapa sangka, kepiluan yang dirasakan Rumi lantas mengubah dirinya menjadi pencinta sejati. Cintanya tak lagi semata-mata tertuju pada sang guru spiritual, tetapi kini mewujud cinta transendental, cinta Ilahiah. Setelah sempat pergi dari Konya, dia pun kembali lagi ke kota tersebut. Kali ini, semangatnya tercurah untuk mengajarkan ilmu tasawuf kepada murid-muridnya. Dia membentuk komunitas tasawuf Mevlevi. Nama itu merujuk pada panggilan dirinya oleh para pengikutnya, “Maulana.” Mengutip Prof Abdul Hadi WM dalam artikel “Pesan Profetik Matsnawi Karya Agung Jalaluddin Rumi”, sejak saat itu Rumi tak hanya masyhur sebagai guru keruhanian, tetapi juga sastrawan agung di seantero dunia Islam.
Dalam masa itu, Rumi menghasilkan berbagai gubahan liris-puitis tentang berbagai ekspresi jiwa, seperti cinta, rasa rindu, kebahagiaan, dan putus asa. Masyarakat Konya kian menaruh respek terhadapnya. Menurut Schimmel, tak lama sesudah itu Rumi juga bersahabat dekat dengan pengganti Burhanuddin Muhaqqiq, yakni Shalahuddin Zarkub. Bahkan, dia lantas menjadi bapak mertua bagi anak perempuan Zarkub (istri Sultan Walad).
Seiring waktu, Zarkub pun wafat. Posisinya digantikan oleh Husamuddin Chelebi. Meskipun berstatus murid, dia dianggap Rumi sebagai sahabat karib. Schimmel mengatakan, karya besar Rumi, Matsnawi, terinspirasi darinya. Suatu ketika, Chelebi meminta sang guru agar menggubah syair-syair tertentu agar para pengikutnya tak semata-mata menyanyikan karya sastra tasawuf Sanai atau Attar. Matsnawi ditulis dalam bahasa Persia. Penulisannya dimulai setidaknya sejak 1260 hingga 1273. Oleh Rumi, Chelebi diharuskan menuliskan kata-kata indah yang terucap dari lisannya, kapanpun itu, entah saat sang Maulana sedang berjalan kaki ke pasar atau (bahkan) mandi.
Karya-karya Jalaluddin Rumi memperkaya khazanah peradaban dunia. Prof Abdul Hadi WM mengutip hasil riset AJ Arberry, penulis Classical Persian Literature. Arberry mengatakan, sepanjang hayatnya Rumi telah menulis tak kurang dari 34.662 bait syair dalam bentuk ghazal (sajak-sajak cinta mistikal), ruba`i (sajak-sajak empat baris dengan pola rima A-A-B-A), dan matsnawi (karangan prosa ritmis-puitis). Selain itu, sang salik yang tumbuh dalam kebudayaan Persia ini juga mengarang sejumlah rasa’il (esai ilmiah) dan khitabah (teks khutbah).
Mahakarya Rumi umumnya berbentuk syair-syair. Misalnya, Matsnawi Ma’nawi (sering disebut Matsnawi saja) atau Divan-Syamsi-i-Tabriz (Diwan), yang dibuat demi mengenang Syamsi Tabrizi. Kecuali itu, ada pula Ruba’iyat yaitu bunga rampai yang terdiri atas 3.318 bait puisi.
Dalam bentuk prosa, Rumi menulis Fihi Ma Fihi (‘Di Dalam Ada Seperti yang Di Dalam’). Buku ini berisi dialog dirinya dengan para murid tentang berbagai persoalan sosial atau keagamaan. Adapun Makatib menghimpun korespondensi Rumi dengan sejumlah sahabat karib, semisal Shalahuddin Zarkub, terkait beberapa problem praktis dalam bidang tasawuf. Majalis-i-Sab’ah berisi teks-teks khutbah yang pernah dibawakan Rumi dalam berbagai kesempatan.
Di atas itu semua, cinta menjadi tema sentral dalam pemikiran Rumi terutama setelah dirinya berinteraksi dengan guru makrifatnya, Syamsi Tabrizi. Bahkan, Abdul Hadi mengatakan, cinta adalah inti ajaran Rumi. Cinta muncul dalam rangka iman sehingga hasilnya haqq al-yaqin, keyakinan yang tak tergoyahkan kepada Yang Haq.
Dengan cinta, manusia dapat transenden menuju Tuhan. Kata Rumi, tulis Abdul Hadi, cinta adalah pemulihan terhadap kesombongan diri. Ia adalah tabib semua kelemahan. Maulana asal Konya itu berpendapat, cinta merupakan asas penciptaan alam semesta dan kehidupan. Cintalah yang menyebabkan segala sesuatu berjalan tanpa henti menuju asal-usulnya, Tuhan, yang sekaligus merupakan tujuannya.
Seseorang yang berhasrat pada cinta sejati, cinta Ilahiah, tak akan teperdaya kepalsuan dunia. Dia meyakini, Sang Kekasih yang ditujunya ialah Allah SWT. Rumi menulis:
Inilah Cinta: Terbang tinggi ke langit
Setiap saat mencampakkan ratusan hijab
Mula-mula menyangkal dunia (zuhd)
Pada akhirnya jiwa berjalan tanpa jasad
Cinta memandang dunia benda-benda telah raib
Dan tak mempedulikan yang hanya tampak di mata
Ia memandang jauh ke balik dunia rupa
Menembus hakikat segala sesuatu
(Divan --terjemahan oleh Abdul Hadi)
Rumi memilah antara diri yang hakikat dan yang palsu. Diri hakiki memancarkan keindahan ilahiah dari Sang Kekasih. Diri palsu tersemu hawa nafsu, yang diibaratkan sebagai “orang asing” atau “induk semua berhala.” Dalam Matsnawi, Rumi mengingatkan: Menghancurkan berhala itu mudah, namun menganggap mudah menghancurkan hawa nafsu itu bodoh.
Bagaimanapun, Rumi tidak “lupa” akan realitas sekitar. Baginya, seseorang yang menempuh jalan cinta sejati tidak lantas mengabaikan kondisi sesama manusia. Tak perlu ada pertentangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi meskipun yang belakangan lebih baik daripada yang awal (ingat surah al-An’am ayat 32, artinya, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh, kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa”).
Ilmu dunia dan ilmu keruhanian sama-sama bermanfaat. Oleh karena itu, keduanya harus berjalan seiring seimbang. Dalam pandangan Rumi, kehidupan duniawi merupakan laluan menuju kehidupan yang kelak. Dunia dan akhirat adalah bagian dari satu kesatuan. Masing-masing tak terpisahkan. Abdul Hadi menjelaskan, visi Rumi sejalan dengan ajaran Islam. Kehidupan sosial yang baik tak mesti berbenturan dengan nilai-nilai transendental.
Rumi berpendapat, hidup adalah anugerah yang mesti diterima dengan penuh tanggung jawab. Anugerah itu datang dari Sang Pencipta. Iman kepada Allah tidak lantas membuat orang yang beriman menolak keperluan berikhtiar dan berusaha. Dalam hal ini, Rumi bukanlah semacam petapa yang gemar menyendiri sehingga enggan berinteraksi dengan masyarakat. Dia justru mengupayakan perbaikan kondisi mereka dan dunia Islam pada umumnya.
Kata Rumi:
Jika kau percaya Tuhan, percayalah pada-Nya ketika bekerja
Tanamlah benih, kemudian barulah bertopang kepada Yang Maha Kuasa
…Lebih baik bertarung dengan pedih daripada bersantai
Di jalan ini biarlah kau tertempa dan tergosok dan ditantang terus.
(Matsnawi --alih bahasa oleh Abdul Hadi WM)
Tiga ciri cinta
Abdul Hadi menerangkan, di antara semua karya Rumi, Matsnawi patut menjadi perhatian. Sebab, di sana tampak kesan Rumi sebagai seorang sufi yang telah matang dan arif. Kitab ini berbicara tentang perjalanan keruhanian sang salik dalam mencari Yang Kekal.
Matsnawi terdiri atas enam jilid setebal 2.000 halaman. Reynold Alleyne Nicholson, seorang ilmuwan Inggris, merupakan sarjana pertama yang berhasil menerjemahkannya secara lengkap. Nicholson bekerja selama 25 tahun untuk mengalihbahasakan buku ini ke dalam bahasa Inggris serta melengkapinya dengan uraian dan komentar. Hasilnya diterbitkan antara tahun 1925 hingga 1950. Sejak saat itu, nama Rumi kian dikenal di berbagai belahan dunia pada zaman modern kini.
Terkait dengan tema utama, lanjut Abdul Hadi, melalui karyanya itu Rumi mengemukakan tiga ciri cinta. Pertama, segala bentuk ekspresi cinta adalah baik. Kedua, cinta berlainan daripada perasaan suka dan duka. Cinta tak menuntut pahala. Tak mempedulikan hukuman atau neraka. Kesan ini tampak, misalnya, dari doa-doa Rabiah al-Adawiyah yang begitu mempesona. Ketiga, cinta meninggikan intelek manusia sehingga menjadi transenden. Sebab, manusia berpikir untuk hidup; bukan hidup untuk berpikir.
Manusia merupakan makhluk teomorfis. Di dalam dirinya, tersimpan seberkas cahaya Ilahi. Oleh karena itu—Abdul Hadi menjelaskan pemikiran Rumi—tujuan terdalam kehidupan seorang insan bersifat Ilahiah. Bila seseorang mampu menyerap sifat-sifat Tuhan, maka dia akan menjadi pribadi yang teguh, layak menjadi khalifatullah (lihat surah al-Baqarah ayat 30).
Selain itu, manusia juga merupakan mikrokosmos (jagat cilik) yang mampu menyerap makrokosmos (jagat besar) di dalam bingkainya yang kecil. Rumi mengatakan: “Kau sendiri adalah (seluruh) masyarakat, kau satu dan ratusan ribu jumlahnya.” Intelek manusia mampu menerangkan rahasia ini sampai sedalam-dalamnya bila diasah oleh cinta. Cinta yang mengarah kepada Sang Kekasih, yakni Allah Ta’ala.
Matsnawi dibuka dengan kisah seruling buluh yang terpisah dari induknya, yakni rumpun bambu. Perasaan terpisah dari asalnya itu membuat seruling tersebut menyanyikan lagu yang penuh ekspresi kerinduan. Dalam syairnya, Rumi melukiskan, tujuan kerinduan hanya mungkin dicapai melalui cinta. “Setiap orang yang tinggal jauh dari sumbernya ingin kembali ke saat ketika dia masih bersatu dengannya,” tulis Rumi, seperti dikutip Abdul Hadi dalam artikel “Rumi dan Karya Profetiknya Matsnawi.”
Seruling bambu adalah metafora untuk insan yang mengalami kerinduan kepada Allah SWT. Sebab, sumber segala sesuatu adalah Dia. Hanya kepada-Nya tempat kembali. Bagi para pencinta yang beriman teguh, tentunya mengharapkan seruan-Nya, seperti diabadikan dalam Alquran surah al-Fajr ayat 27-30. Artinya, “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”
Puncak cinta adalah kefanaan diri. Abdul Hadi mengatakan, Rumi mengistilahkan tahap ini sebagai baqa’. Di sini, seseorang tak lagi dibebani kepentingan nafsu rendah atau diri sendiri dalam melaksanakan tiap kewajibannya. Bila keadaan ini telah dicapai, maka insan yang demikian sudah menemukan hakikat. Tanda seseorang yang telah menerima pencerahan ialah mampu melihat dunia dalam sudut pandang yang berbeda dari orang kebanyakan.
Sepanjang sejarah, kaum nabi merupakan golongan yang tercerahkan. Mereka mampu menunjukkan jalan keluar kepada umat manusia yang mengalami kebuntuan. Tabir-tabir telah terbuka bagi mereka. Para nabi dan rasul pun dapat melihat dunia dari sisi yang lain sehingga akhirnya menorehkan sejarah. Rasulullah Muhammad SAW merupakan contoh agung dalam hal ini.
Menurut Rumi, orang yang menganggap Nabi Muhammad SAW hanyalah manusia biasa telah gagal menyadari adanya cahaya Ilahiah di dalam diri beliau yang menerangi hatinya. Nabi SAW merupakan manusia utama (insan kamil) yang telah memperoleh pencerahan agung. Para wali, ahli tasawuf, maupun orang-orang yang beriman teguh berupaya meneladani beliau. Mencintai Allah SWT dapat dimulai dari mencintai Rasululullah SAW, dan segala yang dicintai beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Gagasan tentang kefanaan
Tasawuf merupakan salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan pada dimensi rohani. Para ahli tasawuf atau sufi lebih menekankan keutamaan akhirat daripada dunia fana. Berdasarkan studi-studi yang dilakukannya atas teks-teks tasawuf, Abdul Hadi WM mendefinisikan fana sebagai hapusnya kecenderungan terhadap diri jasmani. Konsep fana juga tak lepas dari paham wahdah al-wujud, yang mana Jalaluddin Rumi merupakan salah seorang penganutnya.
Rumi merupakan peletak dasar teori kefanaan. Baginya, teori tersebut merupakan pengantar kepada pengertian tentang wahdah al-wujud. Dalam sajaknya berikut ini, dia melukiskan tentang kefanaan.
Apakah arti ilmu tauhid?
Hendaklah kau bakar dirimu di hadapan Yang Maha Esa
Seandainya kau ingini cemerlang bagai siang hari, bakarlah eksistensimu (yang gelap) seperti malam
Dan luluhkan wujudmu dalam Wujud Pemelihara wujud, seperti luluhnya tembaga dalam adonannya
Dengan begitulah kau bisa mengendalikan genggamanmu atas “Aku” dan “Kita”
Di mana semua kehancuran ini tidak lain timbul dari dualisme. (dikutip dari Ensiklopedi Islam)
Abdul Hadi menjelaskan, luluhnya nafsu lahiriah (diri jasmani) ke dalam diri rohani merupakan tanda, seorang ahli tasawuf telah mengenal hakikat dirinya. Pencapaian semacam itu disebut juga sebagai fana. Keadaan itu sering disamakan dengan persatuan mistik (unio-mystika), yaitu menetapnya perasaan bersatu seorang salik yang pencinta (`asyiq) terhadap Sang Kekasih (Ma’syuq) di dalam batinnya.
Peristiwa kefanaan, dalam pemahaman wahdah al-wujud, selalu diikuti keadaan baqa’, yakni tetapnya kesadaran sang sufi kepada Tuhan. Mengutip Ensiklopedi Islam, pada saat sedang baqa’, kesadaran akan Tuhan melandasi kesadaran seorang hamba. Kesatuan sang salik dengan Tuhan, dalam tasawuf menurut Rumi, dipatrikan oleh rasa cinta yang murni. Rumi menulis:
Kesadaran Tuhan
Lebur dalam kesadaran sufi
Bagaimana si awam meyakininya
Pengetahuan sufi adalah garis
Dan pengetahuan Tuhan adalah titik
Eksistensi garis amat tergantung pada eksistensi titik.
William C Chittick dalam The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi menjelaskan persoalan ini. Menurut Rumi, realitas tentang Tuhan, manusia, dan alam—serta keterkaitan antara ketiganya—merupakan kesatuan harmoni yang “tereduksi” ke dalam satu ungkapan, realitas tunggal: “Tiada Tuhan selain Allah.” Tentu saja, pemaknaan ini tak mudah diungkapkan dalam kata-kata literal. Maka dari itu, Rumi bersyair:
Betapa banyak dunia merangkum kata, namun hanya memiliki satu makna
Ketika kau lemparkan bejana air itu satu adanya
(Diwan --alih bahasa oleh William Chittick via Sadat Ismail dan A Nidjam)
Menjelang akhir hayatnya, Rumi membentuk komunitas tasawuf Mevlevi atau al-Maulawiah, yang hingga kini masih banyak diikuti masyarakat terutama di Turki dan Suriah. Nama tarekat itu merujuk pada panggilan cinta dirinya oleh para pengikutnya, “Maulana.” Sang penyair-sufi itu berpulang ke rahmatullah pada 17 Desember 1273 (672 Hijriyah) di Konya, Turki.